Manajemen Pendidikan Tinggi

Kamis, 29 Januari 2009

MANAJEMEN PERUBAHAN PENDIDIKAN TINGGI

Pendahuluan

Tuntutan perubahan terjadi pada berbagai bidang kehidupan, termasuk perubahan pendidikan tinggi. Sumber utama pemicu perubahan pada dasarnya berasal faktor internal dan eksternal suatu organisasi. Secara rinci Drucker (1985) menyebutkan beberapa sumber pembaruan suatu organisasi dapat berasal dari : the unexpected, the incongruity, innovation based on process need, changes in industry structure or market structure, demographics, changes in perception mood and meening, and new knowledge.[1] Dari sumber utama tuntutan pembaruan organisasi menurut Drucker tersebut, maka sumber perubahan lembaga pendidikan tinggi dapat berasal dari kondisi yang tidak diharapkan, munculnya ketidakwajaran, inovasi yang berdasarkan kebutuhan proses, perubahan struktur industri atau struktur pasar, demografi, perubahan persepsi, suasana dan makna serta pengetahuan baru.

Menurut Hussey, faktor pendorong terjadinya perubahan adalah perubahan teknologi yang terus meningkat, persaingan semakin intensif dan menjadi lebih global, pelanggan semakin banyak tuntutan, profil demografis negara berubah, privatisasi bisnis milik masyarakat berlanjut dan stakeholders minta lebih banyak nilai.[2] Sedangkan Kreitner dan Kinicki, menyebutkan kebutuhan akan perubahan dipengaruhi oleh kekuatan eksternal yang mencakup demographics characteristics, technological advancements, market changes, social and political pressures dan kekuatan internal yang meliputi human resources problems/prospects, managerial behavior/decisions.[3]

Dari sumber terjadinya perubahan organisasi sebagaimana dikatakan oleh Drucker, tuntutan perubahan baik dari faktor internal dan ekesternal organisasi sebagaimana dikatakan oleh Kreitner dan Kinicki, dan dorongan perubahan yang diungkapkan oleh Hussey, maka mau tidak mau, suka atau tidak suka, maka lembaga pendidikan tinggi harus mengadakan perubahan sebagaimana dorongan dan tuntutan perubahan tersebut.

Pengertian Manajemen Perubahan

Manajemen sebagaimana dirumuskan oleh Jones et. al adalah The Planning, organizing, leading and controlling of resources to achieve organizational goals effectively and efeciently.[4] Pengertian manajemen yang dirumuskan oleh Jones dan kawan-kawannya adalah pengertian manajemen yang lazim digunakan dan disepakatioleh sebagian besar tokoh manajemen, yaitu perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan penggunaan sumber daya dalam rangka mencapai tujuan organisasi secara efektif dan efesien. Hal senada dengan menambahkan decision making Dubrin memberikan pengertian manajemen suatu proses mnggunakan sumber daya organisasi untuk mencapai tujuan organisasi melalui fungsi planning, and decision making, organizing, leading and controlling.[5] Nada yang berbeda, definisi manajemen diungkapkan oleh Robbin yaitu sebagai suatu proses untuk membuat aktivitas terselesaikan secara efesien dan efektif dengan dan melalui orang lain.[6]

Perubahan pada dasarnya melakukan segala sesuatu secara berbeda. Jeff Davidson menjelaskan bahwa perubahan merujuk pada sebuah terjadinya sesuatu yang berbeda dengan sebelumnya. Perubahan bisa juga bermakna melakukan hal-hal dengan cara baru, mengikuti jalur baru, mengadopsi teknologi baru, memasang sistem baru, mengikuti prosedur-prosedur manajemen baru, penggabungan (merging), melakukan reorganisasi, atau terjadinya peristiwa yang bersifat mengganggu (disruptive) yang sangat signifikan.[7]. Rumusan perubahan yang diungkapkan oleh Davidson tersebut, bahwa perubahan organisasi termasuk lembaga pendidikan tinggi bisa terjadi di berbagai aspek kehidupan organisasi. Potts dan LaMarsh melihat bahwa perubahan merupakan pergeseran dari keadaan sekarang suatu organisasi menuju keadaan yang diinginkan di masa depan. Perubahan dari keadaan sekarang tersebut dilihat dari sudut struktur, proses, orang dan budaya.[8] Perubahan lembaga menurut Potts dan LaMarsh dibatasi pada aspek struktur organisasi, proses, orang dan budaya organisasi.

Setelah dijelaskan pengertian manajemen dan perubahan, selanjutnya dirumuskan pengertian manajemen perubahan. Manajemen perubahan sebagaimana diungkapkan oleh Potts dan LaMarsh dan dianut Wibowo adalah suatu proses secara sistematis dalam menerapkan pengetahuan, sarana dan sumber daya yang diperlukan untuk mempengaruhi perubahan pada orang yang akan terkena dampak dari proses perubahan tersebut.[9]

Pembatasan dan Perumusan Masalah

Masalah yang akan dibahas pada tulisan ini dibatasi perubahan struktur organisasi pendidikan tinggi, perubahan proses layanan dalam pendidikan tinggi, perubahan orang-orang dalam memberikan layanan dan perubahan organisasi pendidikan tinggi.

Dari batasan masalah tersebut di atas, maka masalahnya dapat dirumuskan sebagai berikut :

  1. Bagaimanakah seharusnya perubahan struktur organisasi lembaga pendidikan tinggi dalam memenuhi tuntutan perubahan pelanggannya?
  2. Bagaimanakah seharusnya perubahan proses layanan pendidikan yang diberikan oleh lembaga pendidikan tinggi kepada pelanggannya?
  3. Bagaimanakah seharusnya perubahan orang-orang yang memberikan layanan pendidikan tinggi dalam memenuhi perubahan tuntutan pelanggannya?
  4. Bagaimanakah seharusnya budaya organisasi/lembaga pendidikan tinggi agar dapat memenuhi tuntutan perubahan pelanggannya?


[*] Lektor Kepala/Ketua Program Studi Supervisi Pendidikan/Dosen Tetap Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.



[1] Sudarman Danim, Visi Baru Manajemen, Dari Unit Birokrasi ke Lembaga Akademik, Jakarta : Bumi Aksara, 2006, hal. 39.

[2] Hussey, D.. E., How to Manage Organisational Change, London : Kogan Page limited., 2000, hal. 6.

[3] Kreitner, Robert and Angelo Kinicki, Organization Behavior, Singapore : McGraw-Hill, Inc., 2001, hal. 659.

[4] Jones, Gareth R., et. al, Contemporary Management, Second Edition, United States of America : The MCGraw-Hill Companies, Inc., 2000, hal. 5.

[5] Dubrin, Andrew J., Essensials of Management, Ohio : South-Western Publishing Co., 1990, hal. 5.

[6] Robbins, Stephen P., Organization Behavior, New Jersey : Prentice Hall Intrnational Inc., 2003, hal. 6.

[7] Davidson, Jeff, Change Management, The Complete Ideal’s Duides, Jakarta : Prenada, 2005, hal. 3.

[8] Potts, Rebecca and LaMarsh, Jeanne, Managing for Success, London : Duncan Baird Publishers, 2004, hal. 36.

[9] Wibowo, Managing Change, Pengantar Manajemen Perubahan, Pemahaman Tentang Mengelola Perubahan dalam Manajemen, Bandung : LFABETA, 2006, hal. 37.

Oleh : Drs. H. Nurochim, MM[*]

Pendahuluan

Tuntutan perubahan terjadi pada berbagai bidang kehidupan, termasuk perubahan pendidikan tinggi. Sumber utama pemicu perubahan pada dasarnya berasal faktor internal dan eksternal suatu organisasi. Secara rinci Drucker (1985) menyebutkan beberapa sumber pembaruan suatu organisasi dapat berasal dari : the unexpected, the incongruity, innovation based on process need, changes in industry structure or market structure, demographics, changes in perception mood and meening, and new knowledge.[1] Dari sumber utama tuntutan pembaruan organisasi menurut Drucker tersebut, maka sumber perubahan lembaga pendidikan tinggi dapat berasal dari kondisi yang tidak diharapkan, munculnya ketidakwajaran, inovasi yang berdasarkan kebutuhan proses, perubahan struktur industri atau struktur pasar, demografi, perubahan persepsi, suasana dan makna serta pengetahuan baru.

Menurut Hussey, faktor pendorong terjadinya perubahan adalah perubahan teknologi yang terus meningkat, persaingan semakin intensif dan menjadi lebih global, pelanggan semakin banyak tuntutan, profil demografis negara berubah, privatisasi bisnis milik masyarakat berlanjut dan stakeholders minta lebih banyak nilai.[2] Sedangkan Kreitner dan Kinicki, menyebutkan kebutuhan akan perubahan dipengaruhi oleh kekuatan eksternal yang mencakup demographics characteristics, technological advancements, market changes, social and political pressures dan kekuatan internal yang meliputi human resources problems/prospects, managerial behavior/decisions.[3]

Dari sumber terjadinya perubahan organisasi sebagaimana dikatakan oleh Drucker, tuntutan perubahan baik dari faktor internal dan ekesternal organisasi sebagaimana dikatakan oleh Kreitner dan Kinicki, dan dorongan perubahan yang diungkapkan oleh Hussey, maka mau tidak mau, suka atau tidak suka, maka lembaga pendidikan tinggi harus mengadakan perubahan sebagaimana dorongan dan tuntutan perubahan tersebut.

Pengertian Manajemen Perubahan

Manajemen sebagaimana dirumuskan oleh Jones et. al adalah The Planning, organizing, leading and controlling of resources to achieve organizational goals effectively and efeciently.[4] Pengertian manajemen yang dirumuskan oleh Jones dan kawan-kawannya adalah pengertian manajemen yang lazim digunakan dan disepakatioleh sebagian besar tokoh manajemen, yaitu perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan penggunaan sumber daya dalam rangka mencapai tujuan organisasi secara efektif dan efesien. Hal senada dengan menambahkan decision making Dubrin memberikan pengertian manajemen suatu proses mnggunakan sumber daya organisasi untuk mencapai tujuan organisasi melalui fungsi planning, and decision making, organizing, leading and controlling.[5] Nada yang berbeda, definisi manajemen diungkapkan oleh Robbin yaitu sebagai suatu proses untuk membuat aktivitas terselesaikan secara efesien dan efektif dengan dan melalui orang lain.[6]

Perubahan pada dasarnya melakukan segala sesuatu secara berbeda. Jeff Davidson menjelaskan bahwa perubahan merujuk pada sebuah terjadinya sesuatu yang berbeda dengan sebelumnya. Perubahan bisa juga bermakna melakukan hal-hal dengan cara baru, mengikuti jalur baru, mengadopsi teknologi baru, memasang sistem baru, mengikuti prosedur-prosedur manajemen baru, penggabungan (merging), melakukan reorganisasi, atau terjadinya peristiwa yang bersifat mengganggu (disruptive) yang sangat signifikan.[7]. Rumusan perubahan yang diungkapkan oleh Davidson tersebut, bahwa perubahan organisasi termasuk lembaga pendidikan tinggi bisa terjadi di berbagai aspek kehidupan organisasi. Potts dan LaMarsh melihat bahwa perubahan merupakan pergeseran dari keadaan sekarang suatu organisasi menuju keadaan yang diinginkan di masa depan. Perubahan dari keadaan sekarang tersebut dilihat dari sudut struktur, proses, orang dan budaya.[8] Perubahan lembaga menurut Potts dan LaMarsh dibatasi pada aspek struktur organisasi, proses, orang dan budaya organisasi.

Setelah dijelaskan pengertian manajemen dan perubahan, selanjutnya dirumuskan pengertian manajemen perubahan. Manajemen perubahan sebagaimana diungkapkan oleh Potts dan LaMarsh dan dianut Wibowo adalah suatu proses secara sistematis dalam menerapkan pengetahuan, sarana dan sumber daya yang diperlukan untuk mempengaruhi perubahan pada orang yang akan terkena dampak dari proses perubahan tersebut.[9]

Pembatasan dan Perumusan Masalah

Masalah yang akan dibahas pada tulisan ini dibatasi perubahan struktur organisasi pendidikan tinggi, perubahan proses layanan dalam pendidikan tinggi, perubahan orang-orang dalam memberikan layanan dan perubahan organisasi pendidikan tinggi.

Dari batasan masalah tersebut di atas, maka masalahnya dapat dirumuskan sebagai berikut :

  1. Bagaimanakah seharusnya perubahan struktur organisasi lembaga pendidikan tinggi dalam memenuhi tuntutan perubahan pelanggannya?
  2. Bagaimanakah seharusnya perubahan proses layanan pendidikan yang diberikan oleh lembaga pendidikan tinggi kepada pelanggannya?
  3. Bagaimanakah seharusnya perubahan orang-orang yang memberikan layanan pendidikan tinggi dalam memenuhi perubahan tuntutan pelanggannya?
  4. Bagaimanakah seharusnya budaya organisasi/lembaga pendidikan tinggi agar dapat memenuhi tuntutan perubahan pelanggannya?


[*] Lektor Kepala/Ketua Program Studi Supervisi Pendidikan/Dosen Tetap Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.



[1] Sudarman Danim, Visi Baru Manajemen, Dari Unit Birokrasi ke Lembaga Akademik, Jakarta : Bumi Aksara, 2006, hal. 39.

[2] Hussey, D.. E., How to Manage Organisational Change, London : Kogan Page limited., 2000, hal. 6.

[3] Kreitner, Robert and Angelo Kinicki, Organization Behavior, Singapore : McGraw-Hill, Inc., 2001, hal. 659.

[4] Jones, Gareth R., et. al, Contemporary Management, Second Edition, United States of America : The MCGraw-Hill Companies, Inc., 2000, hal. 5.

[5] Dubrin, Andrew J., Essensials of Management, Ohio : South-Western Publishing Co., 1990, hal. 5.

[6] Robbins, Stephen P., Organization Behavior, New Jersey : Prentice Hall Intrnational Inc., 2003, hal. 6.

[7] Davidson, Jeff, Change Management, The Complete Ideal’s Duides, Jakarta : Prenada, 2005, hal. 3.

[8] Potts, Rebecca and LaMarsh, Jeanne, Managing for Success, London : Duncan Baird Publishers, 2004, hal. 36.

[9] Wibowo, Managing Change, Pengantar Manajemen Perubahan, Pemahaman Tentang Mengelola Perubahan dalam Manajemen, Bandung : LFABETA, 2006, hal. 37.

Label:

posted by Bowo Dwinantyo, S. Pd, M.MPd at 06.35 0 comments

Rabu, 28 Januari 2009

MANAJEMEN PERGURUAN TINGGI

MANAJEMEN PERGURUAN TINGGI :
DI TENGAH PEREKONOMIAN PASAR DAN PENDIDIKAN YANG DEMOKRATIS



"...dalam keterasingan uang, pembalikan tatanan manusiawi dan alami
terlihat paling jelas : yang seharusnya menjadi alat, uang, menjadi tujuan,
dan yang menjadi tujuan, manusia, menjadi alat..."
- Moses Hess (1812-1875) -

Banyak yang berpendapat, bahwa antara negara dan pasar sering terjadi
konflik. Konflik tersebut timbul karena disatu sisi ada kehendak pasar untuk
bebas, membiarkan peran "the invisible hand" yang mengatur. Sedangkan sisi
yang satu lagi adalah adanya kehendak negara yang menyukai regulasi. Namun
demikian, konflik tersebut nampaknya tidak terjadi dalam konteks seni dan
pemikiran. Dalam kaitannya dengan perkembangan pemikiran, pendidikan adalah
salah satunya aspeknya.
Di bidang pendidikan, sering kali antara negara dan pasar justru tidak
terjadi konflik. Meskipun tujuannya berbeda, namun gabungan dua kekuatan
tersebut menghasilkan suatu kolonisasi bagi bidang seni dan perkembangan
pemikiran , termasuk terhadap pendidikan.
Akibat tekanan dari pasar dan dari negara, pendidikan sering kali terlepas
dari konsep-konsepnya yang idealis. Pendidikan digunakan sebagai sarana
propaganda politik, penyamaan pemikiran, atau penanaman idiologi tertentu.
Sedangkan pasar memanfaatkan pendidikan sebagai pabrik, untuk memenuhi
kebutuhan industri. Pendidikan bahkan sering kali menjadi lahan bisnis yang
baru. Para pengelola pendidikan pun semakin larut dalam kondisi semacam ini.

Pendidikan dan Bisnis Pendidikan

Melihat sejarahnya, pendidikan ternyata memang sudah sejak jaman dahulu
dihargai dengan uang. Pendidikan memiliki nilai ekonomis. Pada masa
perkembangan sekolah purba di Athena pada jaman Yunani kuno, skhole, scola,
scolae, schola, atau sekolah yang dalam arti sebenarnya adalah "waktu
luang", merupakan kegiatan dimana para keluarga menitipkan anak mereka
kepada orang yang lebih pandai untuk belajar mengenai berbagai hal. Seiring
dengan perkembangan , dimana semakin banyak jumlah anak asuh, dan semakin
teratur pola pengajaran, maka kegiatan schola dilakukan dengan lebih
teratur. Para orang tua menyisihkan sebagian pendapatan mereka untuk
diberikan pada para pengasuh. Para pengasuh mulai mendapat upah dari orang
tua-orang tua pada masa itu . Hal ini terjadi pada jaman Yunani kuno. Pada
masa awal terciptanya pendidikan dalam peradaban umat manusia, ternyata
pendidikan telah mengandung nilai ekonomis.
Untuk memahami hubungan antara pendidikan dengan perekonomian atau bisnis
pendidikan, perlu dilihat lebih jauh, dalam sistem ekonomi yang seperti apa
pendidikan saat ini bergerak. Banyak ahli ekonomi yang mendefinisikan suatu
sistem ekonomi secara berbeda-beda. Dalam kaitannya dengan kondisi sosial,
termasuk pendidikan, Theodore Morgan mengatakan bahwa setiap sistem ekonomi
adalah bagian dari konstelasi institusi ekonomi, sosial dan politik, serta
ide-ide yang harus dipahami dalam satu kesatuan . Morgan menunjukkan bahwa
permasalahan budaya, sosial, pendidikan, serta politik, tidak dapat terpisah
dari permasalahan ekonomi.
Sistem perekonomian yang sekarang, sudah berbeda dengan sistem perekonomian
pada dekade yang lalu. Perang ideologi, yang sebenarnya merupakan konflik
antar sistem ekonomi yaitu kapitalisme dan sosialisme, tidak lagi
menimbulkan pengaruh yang besar dalam sistem ekonomi. Negara-negara yang
semula menerapkan sistem ekonomi kapitalistik, dengan kekuatan kaum
sosialisnya, semakin memperhatikan kondisi buruh. Bahkan dalam beberapa hal
menunjukkan praksis yang sangat sosialis. Demikian pula negara-negara yang
semula menganut perekonomian sosialis, dalam praksisnya tidak lagi
menjalankan kebijakan yang totaliter. Kebebasan pasar tak mampu dibendung
dan mulai diterima oleh negara-negara ini dalam lingkup yang berbeda-beda.
Artinya, tidak ada lagi perekonomian yang bersifat murni sosialis atau
kapitalis , yang ada adalah sistem perekonomian yang sosialis-kapitalis atau
kapitalis-sosialis. Winardi mengatakan bahwa perekonomian Amerika juga tidak
merupakan kapitalisme murni, atau "pure market economy", tetapi merupakan
"mixed but capitalistically oriented economy" dimana individu swasta dan
pemerintah melakukan pengaruh ekonomi mereka di pasar. Hal ini juga berlaku
di semua negara kapitalistis dewasa ini .
Namun jika melihat dari kecenderungan sikap masyarakat kita dalam hal
perekonomian, tidak dapat ditolak bahwa masyarakat mendasarkan kegiatan
perekonomiannya pada modal. Di Indonesia, dan mungkin di negara manapun juga
saat ini, orang yang ingin bekerja mandiri, memerlukan modal. Tidak hanya
dalam bentuk modal intelektual, namun juga modal material. Tanpa basis
material yang cukup, masyarakat susah untuk mandiri secara ekonomi. Sehingga
yang terjadi pada tingkatan masyarakat ekonomi lemah, adalah munculnya
kelompok masyarakat yang "menjual tenaga" atau "menjual intelektualitas"
yang dimilikinya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Penguasaan atas modal
material tidak merata, hanya dikuasai sebagian kecil masyarakat. Tidak dapat
disangkal, kondisi perekonomian yang diikuti sikap masyarakat yang semacam
ini menunjukkan sistem masyarakat yang bersifat kapitalistik.
Kondisi semacam itu tidak hanya terjadi di Indonesia saja, namun juga di
negara-negara lain. Inilah yang sering disebut sebagai sistem ekonomi
kapitalisme global. Dalam sistem ekonomi tersebut, masyarakat yang ada
mayoritas memiliki sifat yang kapitalistik. Konsep "Economic Man" oleh Adam
Smith mengatakan bahwa setiap individu dalam sebuah masyarakat kapitalistik
dimotivasi oleh kekuatan-kekuatan ekonomi sehingga ia akan bertindak
demikian rupa untuk mencapai "kepuasan terbesar dengan pengorbanan atau
biaya yang sekecil mungkin" . Dalam kondisi ekonomi, dan sikap masyarakat
yang semacam inilah pendidikan di Indonesia dilaksanakan dan dibudayakan .

Konflik yang terjadi antara pendidikan dan pasar adalah karena munculnya dua
tujuan yang berbeda. Idealisme pendidikan atau hakekat suatu pendidikan,
seperti yang dikatakan Paolo Freire, tokoh pendidikan abad ini, yaitu untuk
mengembalikan dan mempertahankan pendidikan yang bersifat "memanusiakan"
manusia. Pendidikan seharusnya bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup
umat manusia, mengembangkan pengetahuan yang secara praksis berguna bagi
masyarakat, bukan hanya golongan tertentu. Pendidikan tidak dapat digunakan
secara politis, untuk kepentingan penguasa. Pendidikan juga tidak dapat
dieksploitasi sebagai peluang bisnis. Hal tersebut akan mereduksi arti
pendidikan yang sebenarnya. Ironisnya, hal tersebut juga tidak dapat
dihindari dalam masyarakat yang sekarang. Kecenderungannya adalah pendidikan
tidak dapat lepas dari bisnis serta industri.
Meskipun belum terbukti secara ilmiah, secara empiris kita dapat melihat,
bahwa sebagian besar masyarakat berpendapat bahwa sekolah, atau pendidikan
menjadi jalur utama, atau bahkan jalan satu-satunya untuk memperoleh
kesuksesan. Opini masyarakat adalah untuk menjadi seseorang yang berhasil
(dari segi penumpukan materi), maka seseorang harus mencapai pendidikan yang
tinggi. Sikap masyarakat ini, jika dibaca oleh sekelompok orang dapat
berarti peluang bisnis. Masyarakat butuh perguruan tinggi, atau pendidikan
tinggi, maka dewasa ini jumlah pendidikan tinggi di indonesia makin
menjamur.
Pendidikan yang merata, secara konseptual memang baik. Semakin banyak
lembaga pendidikan, berarti masyarakat semakin cerdas. Dilihat dari
kelembagaan, dari jumlah seluruh 1.173 lembaga pendidikan tinggi yang ada,
90% adalah perguruan tinggi swasta . Namun yang menjadi masalah adalah
apakah sekian banyak lembaga pendidikan itu sudah memenuhi kualitas yang ada
untuk sebuah pendidikan atau belum. Pendidikan jelas tidak bisa hanya diukur
dari kuantitas, namun juga dari kualitasnya.
Pendidikan tinggi memang menjadi lahan bisnis yang menggiurkan. Kondisi
ekonomi yang menuntut sarjana untuk memenuhi kebutuhan industri, serta sikap
masyarakat yang ada membuat perguruan tinggi nampak elite/ekslusif di
masyarakat. Pendidikan tinggi sering kali dipandang bukan untuk
mengembangkan kesejahteraan masyarakat, tetapi sebagai jalan menuju
kesuksesan pribadi secara material. Selain itu, kurikulum yang ditetapkan
secara nasional yang sangat kaku, membuat makin banyak jumlah pendidikan
tinggi non universitas. Lembaga pendidikan tinggi semacam LPK atau MBA
yang menawarkan kurikulum yang lebih praktis, lebih sesuai kebutuhan,
menjadi keunggulan bisnis tersendiri bagi para penanam modal pada lembaga
pendidikan tinggi, menghadapi universitas sebagai pesaingnya.
Pendidikan tinggi, yang pada hakekatnya adalah sebuah organisasi yang
melibatkan berbagai akademisi, mulai dari rektor, dekan, dosen, karyawan,
dan mahasiswa, dalam pengelolaannya tidak dapat terlepas dari kondisi
diatas. Seperti konflik antara pasar dengan pendidikan, demikianlah konflik
yang terdapat dalam manajemen perguruan tinggi. Di satu pihak, perguruan
tinggi harus menjaga nilai-nilai pendidikan yang hakiki. Namun di lain
pihak, manajemen dituntut untuk mempertahankan kelangsungan organisasi,
terutama secara finansial.
Keterkaitan antara pasar dengan pendidikan, mengakibatkan hubungan finansial
antara angota akademisi dengan pemilik organisasi pendidikan menjadi
hubungan finansial. Hubungan finansial inilah yang seringkali mematikan
potensi akademisi. Menghambat demokratisasi kampus, karena tindakan yang
berusaha mewujudkan demokrasi sering kali bertentangan dengan
prinsip-prinsip bisnis. Bisnis tidak dapat selalu bersifak demokratik.
Disini manajemen perguruan tinggi terdesak antara kepentingan anggota
akademisi, dengan kepentingan pemilik modal.
Paradigma yang ada, bahwa pendidikan tinggi selain sebagai lembaga
pendidikan juga sebagai lembaga bisnis memerlukan jangka waktu yang sangat
panjang untuk dirubah. Untuk mengubahnya jelas perlu adanya tindakan dari
pemerintah. Perlu perjuangan untuk menuntut perubahan dari kalangan
intelektual akademisi. Inipun masih akan terkait dengan permasalahan
kapitalisme global. Yang perlu diperhatikan saat ini adalah bagaimana sikap
manajemen suatu organisasi pendidikan tinggi dalam menghadapi situasi yang
padadoksal ini. Permasalahan yang kerap kali muncul adalah, pendidikan
tinggi yang seharusnya merupakan organisasi nirlaba, mengabaikan nilai-nilai
dari suatu pendidikan, dan larut dalam kegiatan bisnis semata.

Manajemen Pendidikan Tinggi.

Manajemen yang berasal dari kata to manage, dapat berarti suatu proses untuk
merencanakan, mengorganisasikan, mengarahkan, dan mengendalikan organisasi
dan semua perangkatnya untuk mencapai tujuan organisasi. Mary Parker Follet
mengatakan manajemen sebagai ilmu dan seni (science & art) pengorganisasian
untuk mencapai tujuan. Dalam konteks organisasi yang bersifat non profit,
Luther Gulick mendefinisikan manajemen sebagai ilmu pengetahuan yang
berusaha secara sistematis untuk memahami mengapa dan bagaimana manusia
bekerja bersama untuk mencapai tujuan dan membuat sistem kerja sama yang
kebih bermanfaat bagi kemanusiaan.
Dengan tidak meremehkan ilmu lain, adalah ketrampilan manajemen yang pada
akhirnya mampu membuat berbagai ilmu pengetahuan dapat memakmurkan atau
menyejahterakan manusia . Ilmu kedokteran tanpa manajemen yang baik akan
tidak dapat berbuat banyak. Demikian pula pers dan bidang-bidang yang lain.
Manajemen juga berfungsi untuk menjaga keseimbangan antara tujuan-tujuan
yang saling bertentangan. Dalam konflik antara pasar dengan pendidikan,
khususnya pada kalangan pendidikan tinggi, adalah tugas manajemen pendidikan
tinggi untuk menyeimbangkan dua kekuatan yang secara ekstrim berbeda
tersebut.

Masalah finansial.

Berbicara masalah pendidikan tinggi dalam kaitannya dengan dunia bisnis,
Maka kita akan berbicara tentang Perguruan tinggi swasta. Jelas sekali bahwa
perbedaan antas PTN dengan PTS, dari segi keuangan terletak pada subsidi
pemerintah. Pada PTN 80 % dana pendidikan disubsidi dari pemerintah.
Sementara pada PTS 80% dana pendidikan berasal dari masyarakat atau lebih
gamblang adalah orang tua mahasiswa, sementara 20% yang lain berasal dari
sponsor .
Dari pihak pemerintah, dana pendidikan memang sangat minimal. Negara-negara
tetangga kita dalam lingkungan ASEAN telah memberikan prioritas yang tinggi
bagi pembangunan pendidikan dengan memberi proporsi yang besar dalam
APBNnya. Indonesia menempati posisi terendah dalam hal ini. Dana pendidikan
amerika serikat bahkan lebih besar daripada dana yang digunakan untuk
pertahanan dan keamanan negara.
Kondisi ini memaksa PTS untuk bersifat business oriented. PTS terpaksa
meraup uang dari masyarakat. Kecenderungan perubahan dari institusi sosial
menjadi institusi bisnis semakin terbuka lebar akibat dana dari pemerintah
yang minimal.
PTS akhirnya menjadi sebuah organisasi yang manajemennya dikelola dengan
pendekatan bisnis. Pendekatan ini tidak akan menjadi masalah jika dalam
prakteknya tidak mereduksi arti pendidikan atau melecehkan otonomi
pendidikan tinggi. Namun kenyataan yang terjadi adalah sebaliknya.
PTS yang mendapatkan dana dari masyarakat, seharusnya berorientasi pada
kebutuhan masyarakat pengguna. Artinya secara bisnis, masyarakat yang telah
membeli pendidikan dari PTS seharusnya memperoleh hasil berupa pemenuhan
kebutuhan masyarakat itu sendiri . Yang terjadi adalah, masyarakat membeli
pendidikan dari PTS, namun hasil pendidikan tersebut lebih banyak digunakan
untuk kepentingan golongan kecil masyarakat. Bukan untuk kepentingan
masyarakat yang menyumbang dana bagi PTS tersebut. Seorang sarjana lulusan
PTS sebagian besar bekerja pada perusahaan industri. Menjadi pekerja. Ilmu
yang diperoleh tidak mampu diterapkan pada masyarakat luas. Masyarakat
mayoritas tidak memperoleh manfaat dari pendidikan yang diperoleh. Ynag
memperoleh adalah pihak-pihak penguasa industri. Mereka mendapat tenaga
kerja dari pendidikan tinggi.
Dalam pengelolaan PTS, yang sebagian besar dananya berasal dari mahasiswa
sebagai "klien" yang menyokong kelangsungan organisasi, seharusnya memiliki
kekuasaan yang terbesar terhadap organisasi tersebut. Kenyataannya justru
berbeda. Pemilik universitas, pemilik modal, atau yayasan justru lebih
dominan dalam pengelolaan PTS. Dalam beberapa kasus, ketika mahasiswa
menuntut kondisi akademis yang demokratis, ternyata tidak dapat terwujud
karena terhambat kepentingan pemilik modal . Pengelola suatu PTS (juga PTN )
sering kali tidak melibatkan mahasiswa jika melakukan "gerak bisnis' semisal
pembukaan jurusan baru. Seharusnya, dalam terminologi bisnis, pemegang saham
terbesar berhak menentukan arah kebijakan organisasi, demikian pula dalam
konteks demokrasi. Ironisnya, dalam pengelolaan pendidikan tinggi banyak
kali yang terjadi adalah pembungkaman suara pemilik saham mayoritas.
Penyumbang dana terbesar. Gerak atau kepentingan bisnis yang dilakukan
manajemen PTS sering kali menginjak demokrasi kampus. Bertentangan dengan
prinsip-prinsip kebebasan akademis, bahkan prinsip bisnis itu sendiri.

Pendidikan sebagai "produk"

Tahun 1964-1984 Jumlah anak terdaftar pada sekolah-sekolah menengah di
Indonesia meningkat dari 16,8 juta menjadi 33,3 juta. Jumlah buku yang
dibeli naik dari 57 juta selama repelita I menjadi 246 juta sebelum repelita
3 . Data statistik kependudukan menunjukkan bahwa pada tahun 1998, penduduk
yang berusia 16-18 tahun yang mengenyam pendidikan berjumlah 49,52%. Dari
jumlah tersebut 16,7% mengenyam sekolah menengah umum . Dalam perspektif
bisnis pendidikan tinggi, mengingat sikap antusias masyarakat terhadap
pendidikan, maka tidak ada hal lain yang dapat disimpulkan selain terbukanya
pasar untuk pendidikan tinggi.
Keterjebakan manajemen perguruan tinggi dalam situasi paradoksal, antara
organisasi sosial dengan organisasi bisnis, dimana faktor bisnis tanpa dapat
dihindari menjadi semakin dominan, memaksa manajemen pendidikan tinggi untuk
memperlakukan pendidikan sebagai suatu "produk". Pendidikan tinggi dianggap
sebagai "pabrik", atau "supermarket" dimana konsumen bisa membeli produk.
Bukan "pabrik pengetahuan" (knowledge factory ), tetapi "pabrik pencetak
pekerja" (worker factory) untuk memenuhi kebutuhan industri semata.
Karena diperlakukan sebagai "produk" , maka pendidikan tinggi juga
memasarkan "produk"nya tersebut dengan pendekatan bisnis. Adanya pendidikan
tinggi yang dikomersialisasikan dengan cara menawarkan sejuknya ruangan
ber-AC misalnya , menunjukkan pemahaman mengenai pendidikan yang sudah
sangat jauh melenceng. Ini juga merupakan salah satu contoh ketidak-
berdayaan majemen perguruan tinggi menghadapi fenomena bisnis. Atau
merupakan contoh pendidikan yang sangat business oriented, bukannya
educational oriented. Masyarakat sendiri menerima hal ini begitu saja. Hal
ini wajar terjadi karena tidak adanya penyadaran terhadap masyarakat
mengenai hakekat pendidikan yang sebenarnya. Dan manajemen pendidikan tinggi
yang berorientasi bisnis, memanfaatkan hal ini.
Persaingan antar institusi pendidikan semakin terjerat dalam persaingan yang
bersifat materialis. Luas gedung, jumlah ruangan ber-AC, dan jumlah
mahasiswa baru menjadi patokan keberhasilan kinerja manajemen suatu
pendidikan tinggi. Persaingan jumlah kampus antar PTS nampak sangat jelas,
terutama di Yogyakarta. Berbagai PTS berlomba-lomba meningkatkan kualitas
dengan membangun gedung-gedung megah. Restrukturisasi perguruan tinggi
diterjemahkan lebih pada restrukturisasi secara fisik, bukan secara
intelektual yang lebih krusial. Manajemen PTS dianggap berhasil jika mampu
mengelola dan mengembangkan institusi tanpa hutang.
Dari segi intelektual, persaingan pendidikan tinggi nampak terfokus pada
penawaran-penawaran yang bersifat seakan-akan consumer service, memanfaatkan
ketidaktahuan masyarakat. Program cepat lulus serta program mendapat
kesempatan kerja banyak ditawarkan lembaga pendidikan tinggi melalui
berbagai media massa. Sementara kebobrokan sistem pendidikan nasional tidak
pernah dipersoalkan. Masyarakat bukannya diajarkan untuk memahami
pendidikan, namun melalui berbagai komersialisasi pendidikan semakin
dirasuki dengan paham bahwa pendidikan tinggi sebagai jalan untuk sukses.
Secara tidak langsung, manajemen pendidikan tinggi yang bersifat komersialis
semacam itu mengarahkan masyarakat untuk memperoleh ijasah, bukan mencapai
pengetahuan.

Manajemen perguruan tinggi dan kualitas pendidikan

Manajemen pendidikan tinggi yang menganggap pendidikan sebagai produk,
bukannya sama sekali melupakan masalah kualitas produk. Pemasaran pendidikan
tinggi juga dilakukan dengan menjual "kualitas" produk. Pemahaman mengenai
kualitas itu sendiri berubah dari "kualitas pendidikan" menjadi "kualitas
produk pendidikan". Kualtitas pendidikan yang sebenarnya terletak pada
kemampuan ilmu untuk diterapkan di masyarakat, kemampuan ilmu untuk
melakukan peningkatan kualitas hidup. Kriteria hakiki kualitas pendidikan
tersebut berubah menjadi kriteria kualitas produk, yaitu fasilitas assesoris
seperti gedung, lokasi, status, sertifikat pendidikan, dan jamiinan 'cepat"
lulus.
Bagaimanapun juga dalam terminologi bisnis, kualitas produk adalah faktor
penting. Masalahnya adalah, dalam terminologi bisnis kualitas diukur dari
kepuasan konsumen, yang dalam hal pendidikan adalah masyarakat. Sedangkan
kondisi masyarakat sendiri menganggap pendidikan sebagai "syarat" untuk
"sukses" bukan memahaminya dalam artian sarana untuk peningkatan kualitas
hidup. Pandangan manajemen pendidikan tinggi yang menganggap pendidikan
sebagai produk, dan pandangan masyarakat tadi mereduksi arti kualitas
pendidikan yang sebenarnya.
Masalah Kualitas dan kaitannya dengan Manajemen pendidikan tinggi tidak
hanya terletak pada hubungannya yang menganggap pendidikan sebagai "produk"
seperti yang diungkapkan tadi. Lebih dari itu, kriteria penentuan kualitas
pendidikan tinggi, khususnya PTS memang tidak jelas. Dari pihak pemerintah,
Badan Akreditasi Nasional, yang selama ini menjadi acuan kualitas pendidikan
tinggi , nampaknya sangat berpengaruh pada manajemen pendidikan tinggi.
Manajemen dipaksa untuk mencapai standar kualitas yang diajukan BAN untuk
memperoleh kriteria sebagai pendidikan yang baik. Sementara kriteria yang
terdapat dalam BAN sendiri belum tentu mampu mencerminkan kualitas
pendidikan yang sebenarnya. Sebagai contoh, dalam BAN rasio mahasiswa-dosen
masih diperhitungkan. Menurut Clark Kerr, kualitas pendidikan tidak terlalu
ditentukan oleh rasio mahasiswa-dosen, melainkan lebih pada kualitas dosen
tersebut.
Kualitas pendidikan sangat terkait dengan kualitas dosen. Perlakuan
pendidikan sebagai "produk" seringkali mengabaikan kualitas dosen. Dosen
lebih ditempatkan pada posisi "pengajar" yang sekedar mentransfer ilmu
kepada siswa. Bukan ditempatkan sebagai "pendidik", yang mengajak siswa
untuk berkembang. Manajemen pendidikan tinggi, baik PTS atau PTN di
Indonesia masih kurang menghargai dosen sebagai profesi. Upah dosen masih
sangat rendah, sehingga profesi dosen menjadi profesi sampingan, demikian
pula kualitas dosen semakin menurun lebih jauh menurunkan kualitas
pendidikan . Upaya untuk melakukan seleksi terhadap dosen belum dilakukan
secara serius. Hal ini disebabkan jumlah peminat profesi dosen pun masih
langka, sehingga tidak memungkinkan bagi manajemen pendidikan tinggi untuk
melakukan seleksi yang lebih mementingkan kualitas.

Reorientasi Manajemen Perguruan Tinggi.

Manajemen perguruan tinggi memang dalam posisi terhimpit. Di satu pihak,
seperti yang telah diuraikan diatas, menghadapi berbagai permasalahan, baik
dari segi finansial organisasi, sikap masyarakat, serta perekonomian
nasional. Di lain pihak dituntut untuk mewujudkan pendidikan dalam arti
sebenarnya. Interaksi antar dua kepentingan tersebut mengakibatkan manajemen
pendidikan tinggi sering kali membelenggu otonomi pendidikan tinggi,
menginjak demokrasi kampus, merendahkan kualitas pendidikan, serta
membiaskan manfaat pendidikan pada masyarakat. Manajemen pendidikan tinggi
sendiri, untuk di Indonesia, selalu dalam posisi terbelenggu oleh sistem
yang lebih besar, baik sistem pendidikan nasional melalui kurikulum nasional
dan berbagai kebijakan lainnya, sistem perekonomian, maupun sikap
masyarakat. Menghadapi kondisi ini, Manajemen pendidikan tinggi harus
melakukan reorientasi dalam langkah selanjutnya. Kembali ke visi dan misi
pendidikan yang hakiki. Mengembalikan pendidikan tinggi pada tempatnya di
masyarakat. Mencerdaskan kehidupan bangsa, seperti yang tercantum dalam
pembukaan UUD 45.
Manajemen pendidikan tinggi harus mengadopsi visi dan misi pendidikan yang
bebas dari pengaruh negara dan pasar. Dalam kaitannya dengan pemerintah,
pendidikan tidak boleh digunakan sebagai sarana penguasa untuk melakukan
tindakan-tindakan politik. Pendidikan tinggi harus menuntut untuk perbaikan
sistem pendidikan yang menyeluruh. Menengok tema dari Dies Natalis UAJY
tahun ini, dalam kaitannya dengan perbedaan status antara PTN dan PTS,
menurut H.A.R Tilaar, Pembedaan PTS dan PTN harus ditiadakan. UMPTN diganti
dengan UMPT. Juga perlu penghapusan KOPERTIS yang selama ini mendominasi
gerak PTS serta meninjau ulang validitas BAN sebagai penentu kualitas
pendidikan . Anggaran pendidikan dari pemerintah juga harus ditingkatkan.
Pendidikan tinggi juga tidak boleh larut dalam sistem ekonomi pasar.
Manajemen pendidikan tinggi harus berani menjamin hal ini. Orientasi
pendidikan bukan pada pemenuhan tenaga kerja untuk pembangunan semata,
tetapi lebih pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Perguruan tinggi dalam
masyarakat berfungsi sebagai kelompok intelektual (knowledge society) yang
membebaskan masyarakat dari belenggu ketidaktahuan. Membawa masyarakat ke
arah kesejahteraan yang lebih baik.
Pendidikan tinggi bukan sebagai ladang bisnis. Pendidikan bukan sarana untuk
meraup keuntungan dari masyarakat. Perguruan tinggi harus kembali ke
hakekatnya sebagai organisasi sosial. Pengelolaan pendidikan tinggi bukan
mengarah pada profit oriented tetapi pada social oriented yang dalam
praksisnya berarti educational oriented. Keseimbangan antara laba, yang mau
tidak mau harus memang harus diperoleh oleh lembaga pendidikan tinggi untuk
bertahan hidup, harus diseimbangkan dengan tujuan pendidikan. Disinilah
peran besar manajemen pendidikan tinggi untuk mewujudkan manfaatnya bagi
perkembangan masyarakat.

Manajemen Pendidikan Tinggi yang Demokratis

Pendidikan tinggi seharusnya menjunjung tinggi kebebasan akademis. Berangkat
dari pemikiran, bahwa pendidikan tinggi adalah tempat untuk belajar. Dan
tiap individu bebas untuk mempelajari apa yang diinginkan. Maka tidak ada
alasan bagi siapapun untuk menghalangi informasi pengetahuan, dan semua
kegiatan yang dilakukan demi kemajuan ilmu pengetahuan, serta penerapan ilmu
pengetahuan di masyarakat.
Dewasa ini perkembangan pemikiran manajemen perguruan tinggi mengarah pada
sistem manajemen yang disebut TQM (Total Quality Management) . Pada
prinsipnya sistem manajemen ini adalah pengawasan menyeluruh dari seluruh
anggota organisai terhadap kegiatan organisasi. Sistem ini muncul dan
berkembang dalam industri manufaktur, namun nampaknya mulai diadopsi dalam
organisasi pendidikan tinggi. Penerapan TQM dalam organisasi pendidikan
tinggi seharusnya hanya sebatas konsep manajemen praksis saja. Tidak perlu
mengadopsi TQM secara total, sehingga terobsesi untuk meraih menghargaan ISO
9000 misalnya.
Dalam konteks pendidikan tinggi, penerapan TQM berarti semua anggota
akademisi bertanggung jawab atas kualitas pendidikan. Sebelum hal ini
tercapai, maka semua pihak yang terlibat dalam proses akademis, mulai dari
pemilik organisasi, pengurus, dosen, mahasiswa, sampai dengan karyawan,
harus benar-benar mengerti hakekat dan tujuan organisasi pendidikan ini.
Dengan kata lain, setiap individu yang terlibat harus memahami apa tujuan
penyelenggaraan pendidikan. Tanpa pemahaman yang menyeluruh dari individu
yang terlibat, tidak mungkin akan diterapkan TQM. Hal ini sesuai dengan
prinsip dasar TQM, yaitu "Quality is everybody responsibility".
Pelaksanaan TQM menghendaki suasana pendidikan yang demokratis. Dalam
analogi pendidikan tinggi yang menempatkan mahasiswa sebagai "klien" atau
dalam isltilah perusahaan sebagai"stakeholders" yang terbesar, maka suara
mahasiswa harus disertakan dalam setiap pengambilan keputusan strategis
langkah organisasi pendidikan tinggi. Tanpa suasana yang demokratis,
manajeman tidak akan mampu menerapkan TQM. Yang terjadi adalah kualitas
pendidikan didominasi oleh pihak-pihak tertentu yang seringkali memiliki
kepentingan yang bersimpangan dengan hakekat pendidikan.
Clark Kerr mengatakan bahwa dalam suatu perguruan tinggi modern diperlukan
suatu pemikiran yang lebih pluralistik. Artinya kepemimpinan dalam arti team
work karena berbagai masalah yang dihadapi perguruan tinggi sebagai
organisasi sosial dan mau tidak mau sebagai organisasi bisnis pula.
Manajemen pendidikan tinggi yang hanya berada pada satu tangan atau hanya
pada tangan seorang rektor yang diktatoris tidak akan berhasil survive. Dan
kondisi semacam ini jelas mematikan potensi kampus sebagai sarana pendidikan
bagi masyarakat. Akibatnya kampus serta sistem pendidikan akan menjadi
"mati" tidak lagi berjalan sesuai fungsinya.
Manajemen pendidikan tinggi tidak boleh birokratis. TQM adalah sistem
manajemen yang menjunjung tinggi efisiensi. Sistem manajemen ini sangat
meminimalkan proses birokrasi. Sistem birokrasi kampus, yang sangat
mencerminkan sistem birokrasi dalam pemerintahan negara, harus diganti agar
lebih efektif dan efisien. Sistem kampus yang birokratis akan menghambat
potensi perkembangan kampus sendiri.
Penerapan manajemen yang demokratik, berarti pula adanya kebebasan untuk
berpendapat. Kebebasan berpendapat akan menciptakan iklim yang dialogis
antara mahasiswa dengan dosen. Pentransferan ilmu tidak lagi bersifat one
way communication, melainkan two way communication. Ini berkaitan dengan
budaya akademis. Manajemen pendidikan tingggi juga sangat berpartisipasi
dalam pembentukan budaya akademis. Kebebasan berpendapat juga dalam konteks
hubungan mahasiswa dengan pejabat pendidikan tinggi. Manajemen pendidikan
tinggi, khususnya PTS yang jika dilihat, baik dari perspektif bisnis maupun
sosial, berbasis pada mahasiswa, harus menyediakan akses bagi mayoritas
akademisi ini untuk bersuara. Tanpa akses ini pendidikan tinggi akan tetap
otoriter. Selain kebebasan berpendapat juga harus ada kebebasan informasi.
Harus ada informasi yang jelas mengenai arah-arah pendidikan tinggi, baik
secara internal organisasi maupun secara nasional. Secara internal,
manajemen harus menyediakan informasi seluas-luasnya bagi akademisi.
Termasuk dalam hal arah organisasi, program-program, serta kondisi
finansial.
Manajemen yang demokratis sering kali menjadi ketakukan bagi pengelola
pendidikan tinggi. Hal ini desebabkan karena masih ada
kepentingan-kepentingan di luar pendidikan yang berperan begitu kuat dalam
dunia pendidikan seperti kepentingan negara, dan kepentingan bisnis. Inilah
keterdesakan manajemen pendidikan tinggi. Jika pendidikan tinggi berani
untuk lepas dari kepentingan-kepentingan tersebut, dengan masyarakat
akademisi yang memiliki kemampuan intelektual, maka pendidikan akan kembali
kepada fungsinya di masyarakat dengan sendirinya. Dalam kondisi terhimpit
oleh berbagai situasi dan tuntutan, penerapan manajemen pendidikan tinggi
yang demokratik membuka jalan ke arah arti "pendidikan" dalam fungsinya yang
sebenarnya.

Label:

posted by Bowo Dwinantyo, S. Pd, M.MPd at 07.57 0 comments

Mencari Model Kolaborasi PTN, PTS, dan Asing


MENGIKUTI pendidikan pasca sarjana di negeri Sakura, Jepang, sungguh nikmat. Sebagai peserta didik tugas belajar tersebut, penulis berkesempatan untuk mengikuti berbagai model dan gaya pendidikan tinggi Jepang yang selama ini tak tersentuh (dan mungkin luput dari perhatian banyak pihak).

Ada salah falsafah pendidikan (tinggi) di negeri Taro Aso itu yang sebenarnya bisa dikembangberdayakan sebagai alternatif manajemen pendidikan tinggi di tanah air, Indonesia. Salah satunya adalah spirit “kolaborasi” di antara tiga pilar pendidikan tinggi yakni PT milik pemerintah, Swasta dan PT asing.

Seperti dilaporkan the Japan Times (JP), koran Jepang berbahas Inggris, bahwa menyongsong millenium baru ini, Jepang merupakan salah satu dari 8 negara di dunia yang paling “menarik” untuk dijadikan contoh manajemen pendidikan (tinggi).

Di samping Amerika, Inggris, Jerman, Prancis, Kanada, Belanda, Australia, Negeri Sakura tersebut adalah contoh terbaik bagi negara-negara Asia bagaimana mengelola pendidikan tinggi menghadapi persaingan global dewasa ini (JP, 29/11).

Contoh terbaik tersebut berupa kemampuan manajemen perguruan tinggi melakukan berbagai bentuk kerjasama, kolaborasi, dan konsolidasi internal dan eksternal, bukan semata-mata untuk bersaing di antara mereka dalam merebut “pasar” pendidikan tinggi, tetapi justru untuk “bergandengan tangan”.

Benar bahwa setiap PT harus mampu bersaing dengan PT lain untuk terus melakukan terobosan-terobosan manajemen pendidikan tinggi sesuai dengan kebutuhan dan trend iptek yang terus berkembang, tetapi jangan lupa bahwa masing-masing lembaga pendidikan tinggi itu memiliki tujuan yang sama nan suci: mencerdaskan kehidupan bangsa, guna membangun kebudayaan dan peradaban yang lebih baik.

Generasi bangsa yang lahir dari “rahim” perguruan tinggi setelah mereka lulus dari bangku kuliah akan menghadapi persoalan yang sama, tanpa harus melihat si x lulusan PT negeri atau swasta, PT asing atau apalah namanya. Yang diharapkan oleh bangsa dan masyarakat adalah bagaimana para lulusan itu turut memecahkan masalah bangsa dan negara, dan bukan malah sebaliknya menjadi beban masyarakat-bangsa.

Saling Menjatuhkan

Berangkat dari persoalan tersebut, masing-masing perguruan tinggi semestinya bekerja bersama, bersaing bukan dalam rangka saling menjatuhkan apalagi sengaja “mematikan” sumber rejeki satu dengan lainnya, tetapi justru berkolaborasi.

PTN memiliki aset, sumber daya dan fasilitas pendidikan yang lebih baik dari PTS karena PTN telah sekian lama menikmati fasilitas subsidi negara sebelum terjun ke dalam persaingan bebas pendidikan tinggi.

Sementara PTS sejak jaman bahoela sudah terbiasa hidup “seorang diri” tanpa banyak campur tangan dan bantuan dari pihak luar termasuk pemerintah. keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing yang tak perlu dipertentangkan untuk alat “saling menjegal”, tetapi justru sebaliknya sebagai peluang untuk melakukan banyak kolaborasi positif.

Apalagi era free market pendidikan tinggi dewasa ini telah hadir banyak PT asing yang dikelola oleh orang asing dengan modal asing dan manajemen gaya asing. Banyak PT domestik (PTN/PTS) yang justru menilai alergi datangnya pesaing baru sehingga merengek-rengek minta perlindungan pemerintah dengan berbagai dalih.

Deru persaingan antar PT akan semakin kencang, dan PT yang justru protektif dari spirit kolaborasi, seperti disampaikan pakar pendidikan Amerika, Edward Spykle (2008) dalam “Collaborative Inter and IntraUniversity”, akan mati dengan sendirinya.

Bukan lantaran tidak menjadi pilihan calon mahasiswa, tetapi justru karena ia menutup diri dari dunia luar, dari era kolaboratif yang kian urgen diperlukan dewasa ini. Spyke menyebutkan bahwa “deru persaingan” antar PT kini tak lagi mengenal batas teritorial, karena sesuai kesepakatan “perdagangan bebas” yang telah disepakati antar negara, dunia pendidikan adalah salah satu icon yang “bebas” untuk “diperdagangkan”.

Siapa yang terbiasa merengek-rengek minta subsidi, sedikit-sedikit minta bantuan dan serba tergantung, atau menghalang-halangi datangnya pemain dan pesaing baru dalam pendidikan (tinggi), tidak kreatif menciptakan berbagai terobosan manajemen pendidikan tinggi, seperti fenomena yang banyak berkembang akhir-akhir ini, justru akan menjadi “korban” pertama dalam gerusan roda globalisasi pendidikan.

Model Kolaborasi

Menghadapi kondisi tersebut, PT domestik kini memang sudah saatnya melepaskan baju dikotomi “negeri dan swasta” karena label tersebut pasca-”otonomi kampus” semestinya sudah tak layak dipertentangkan. Jika diperlukan justru terus menggalang kolaborasi dengan semua pihak termasuk di antara PT domestik tersebut bahkan dengan PT asing.

Di negeri Sakura, model-model kolaborasi antar PT (PT milik pemerintah, swasta dan asing) dapat dilihat dalam tiga bentuk/ model. Pertama, kolaborasi menyangkut peluang akses pengembangan iptek.

Di antara tiap PT memiliki keunggulan sumber daya iptek masing-masing. Keunggulan tersebut bisa didistribusikan dalam bentuk nyata berupa pertukaran tenaga pengajar, mahasiswa atau administrasi pendidikan tinggi diantara mereka.

Pertukaran tenaga pengajar dan civitas akademika dimaksud bukan sekadar saling berkunjung temporal (sporadis) seperti gaya anggota dewan yang ’’pura-pura’’ studi banding tetapi sebenarnya ’’plesiran’’ doang, tetapi betul-betul terumuskan dalam indikator kolaboratif iptek yang komprehensif.

Selama ini sudah ada beberapa PT yang mau melakukan langkah ini, tetapi belum integratif karena melupakan para tenaga adminsitrasi dan manajemen kampus itu sendiri.

Belum ada pertukaran iptek dan manajemen pendidikan tinggi datang dari pihak manajemen kampus, para tenaga administrasi. Yang sering terjadi justru “bolak-balik” pertukaran dosen dan mahasiswa tanpa menyertakan tenaga bidang administrasi.

Padahal mutu output pendidikan tinggi tak melulu dari dosen/ mahasiswa an sich, tetapi justru yang menghasilkan output manajemen dan administrasi sebagai indikator “kinerja PT” justru aspek manajemen ini. Sayangnya, hal ini menjadi perhatian pengambil keputusan di PT dalam negeri.

Kedua, kuliah lintas PT. Kini jaman teknologi informasi (TI) sehingga waktu dan tempat kuliah, menghadiri acara-cara akademik tak lagi secara manual di lakukan “physic a physic”, tetapi dapat dengan bantuan TI seperti kuliah bersama antar PT dari berbagai belahan dunia dalam satu waktu.

Sebesar 90% PT di Jepang telah melakukan langkah ini, dan terbukti efektif untuk meningkatkan kompetensi civitas akademik dalam mengembangkan PT tersebut. Bahkan melalui model kolaborasi demikian, masing-masing PT dapat saling menjajaki sekaligus berbagi pengalaman tentang berbagai hal (iptek) lintas negara/PT.

Ketiga, berbagi kurikulum dan model pembelajaran. Dewasa ini kurikulum tiap PT sudah saatnya untuk “melihat dunia luar”, “dunia nyata”, tanpa harus kehilangan spirit akademiknya. PT di luar negeri sudah zaman melakukan sharing kurikulum dan tak ada rahasia-rahasiaan untuk masalah ini.

Demikian juga kolaborasi antar dosennya sehingga terbentuk model-model pembelajaran aktual yang dapat dijadikan rujukan bagi peningkatan mutu model pembelajaran di kampus.

Dengan cara demikian, tak ada dikotomi, model x, y atau z, dengan berbagai label dan simbol tetapi semua bisa melakukannnya (dan menerapkannya). (Tasroh, SS, mahasiswa tugas Belajar S2 di Jepang

Label: , ,

posted by Bowo Dwinantyo, S. Pd, M.MPd at 07.53 0 comments

MANAJEMEN PENDIDIKAN DALAM SEBUAH PEMIKIRAN

MANAJEMEN PENDIDIKAN DALAM SEBUAH PEMIKIRAN
Bangun Sitohang

Pendidikan adalah proses kehidupan yang masalahnya sangat kompleks dan tetap ada sepanjang manusia membentuk peradabannya di muka bumi ini. Namun dalam prosesnya pendidikan tetap memerlukan pembenahan sesuai masalah yang dihadapi pada zamannya. Dari beberapa masalah yang ada setidaknya terdapat tiga persoalan pendidikan nasional yang dapat dipelajari dalam sebuah konsep pemikiran atau setidaknya menjadi acuan dalam mengatasi berbagai anomali dalam bidang pendidikan, antara lain : 1. Pemerataan dan perluasan akses pendidikan; 2. Peningkatan mutu, relevansi dan daya saing; 3. Penguatan tatakelola, akuntabilitas dan pencitraan publik sebagaimana dibahas berikut ini :

  1. Pemerataan dan perluasan akses pendidikan

    Pendidikan adalah proses kehidupan yang berkait dengan masalah demokrasi yang memberi peluang bahwa setiap warga bangsa memiliki akses yang sama untuk mendapatkannya. Oleh sebab itu penyelenggaraan pendidikan baik secara formal maupun informal harus bisa meningkatkan potensi masing-masing peserta didik dan tidak boleh diskriminasi. Pembukaan UUD 1945 antara lain menegaskan bahwa tujuan pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

    Memasuki abad ke-21 bahwa dunia pendidikan di Indonesia setidaknya menghadapi dua tantangan besar, pertama, bagaimana pendidikan menghasilkan sumber daya manusia yang kompetitif di era globalisasi; dan kedua, dunia pendidikan di Indonesia juga dituntut untuk bisa melakukan sistem pendidikan nasional yang demokratis dengan tetap memperhatikan keragaman lokal, khususnya keragaman kebutuhan, kondisi daerah dari peserta didik, sehingga dapat mendorong peningkatan partisipasi masyarakat di bidang pendidikan.

    Sejak bergulirnya reformasi ’98, semangat pendidikan nasional dalam perakteknya mengalami pergeseran terutama jika dikaitkan dengan UU No 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, pendidikan yang tadinya terkesan sentralistik kemudian bergeser pada pemahaman otonomi pendidikan sesuai dengan konsep penyelenggaraan pemerintahan daerah. Salah satu contoh ekstrem dari dampak otonomi pendidikan di daerah adalah adanya penunjukan kepala dinas pendidikan yang bukan didasarkan atas kompetensi pendidikan tetapi lebih bersifat birokratis sehingga pengangkatan lebih condong pada aspek like or dislike dengan pejabat yang diangkat, ini salah satu anomali pendidikan saat ini. Dari sejumlah persoalan yang ada, yang paling mendesak dalam rangka pembangunan pendidikan nasional adalah menyangkut pemerataan dalam perolehan pendidikan serta perluasan akses pendidikan secara nasional.

    Letak geografis Indonesia yang terdiri atas pegunungan dan kepulauan menjadikan tantangan tersendiri bagi pemerataan pendidikan secara nasional. Kondisi tersebut membuat masyarakat tertentu di pedalaman sulit berkembang karena akses pendidikan yang terbatas akibat medan wilayah yang jauh dari perkotaan serta terbatasnya alat transportasi dan komunikasi. Pada sisi lain bahwa pertambahan jumlah penduduk yang besar adalah sebuah tantangan tersendiri dalam pembangunan pendidikan secara nasional. Sehingga sangatlah tepat jika amandemen UUD 45 pasal 31 menetapkan 20 % dari APBN/APBD untuk bidang pendidikan, meskipun dalam prakteknya masih belum seperti yang diharapkan, tetapi setidaknya sudah ada niat baik pemerintah untuk memajukan pendidikan bangsanya. Disamping itu bahwa anggaran pendidikan yang disediakan pemerintah baik di pusat dan daerah terkesan tambal sulam dengan membuat kebijakan perencanaan pendidikan yang terkesan temporer seperti pengadaan BOS. Bentuk bantuan tersebut merupakan simbol pemerataan bagi orang tidak mampu agar dapat menikmati pendidikan yang berkelanjutan. Pertanyannya adalah bagaimana jika BOS selesai, tentu akan ada persoalan baru lagi dalam pemerataan bidang pendidikan.

    Salah satu perluasan akses pendidikan baik formal maupun informal yang telah dilakukan pemerintah adalah digulirkannya kebijakan penyelenggaraan pendidikan jarak jauh melalui kerjasama beberapa universitas, dimana pengelolaannya oleh Dirjen Dikti. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kemampuan guru sehingga memiliki jenjang pendidikan setara S1. Dalam bidang pendidikan informal pemerintah juga telah membuat kelompok kejar paket dan membina pendidikan swakelola yang dilakukan oleh masyarakat. Kebijakan pendidikan tersebut patut didukung semua lapisan masyarakat, meskipun dalam perakteknya masih mengalami berbagai kendala, karena sebagian besar masyarakat kita tinggal di daerah pedesaan dan belum tentu semua pedesaan memiliki jaringan telepon untuk akses internet serta memiliki jaringan listrik, akibatnya kalaupun pemerintah menyediakan komputer, maka sarana tersebut terkesan mubazir. Padahal memasuki era globalisasi menurut Alfin Tofler sarana informasi merupakan faktor pengendali pada abad ke 21 ini.

    Di samping itu pembangunan sarana dan prasarana belajar masih belum merata distribusinya sehingga terkadang ada gedung sekolah yang memprihatinkan atau asal jadi, dsb. Dengan kondisi demikian maka akses perluasan pendidikan masih mengalami kendala yang besar terutama dalam hal dukungan dana penyelenggaraan pendidikan, belum lagi penyelewengan dana pendidikan yang terjadi di beberapa daerah. Mengingat pendidikan adalah proses kehidupan yang didalamnya termasuk tanggungjawab semua strata (masyarakat, orangtua, guru, pengelola pendidikan), maka dalam rangka akselerasi perluasan pendidikan yang perlu ditekankan ke depan adalah menanamkan rasa tanggungjawab stakeholder pendidikan, sehingga perluasannya bukan saja dibebankan kepada pemerintah, inilah masalah klasik yang selalu menjadi perdebatan di masyarakat, sehingga masih menjadi kendala dalam perluasan akses pendidikan di Indonesia.

  2. Peningkatan mutu, relevansi dan daya saing

    Dunia pendidikan adalah industri yang harus dikelola secara efisien dan profesional, agar bermutu serta kompetitif di era pasar bebas. Kita tidak bisa lagi menjalankan pendidikan hanya berdasar pada kemampuan administrasi dan birokratis. Tantangan profesionalisme pendidikan dari semua jenjang (SD,SMP, SMU bahkan Perguruan Tinggi) memerlukan penataan pengajar atau guru secara profesional dalam memperkuat penguasan ilmu (kompetensi) masing-masing sesuai yang diamanatkan UU No.14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Untuk selanjutnya semua hasil pendidikan didasarkan pada PP No.19 tahun 2005 tentang Standarisasi Pendidikan Nasional, dimana bentuk konkretnya diuji lewat Ujian Nasional (UN) sayangnya UN kurang memperhatikan aspek perbedaan daerah secara demografi dan pemerataan pendidikan yang belum proporsional di seluruh Indonesia. Pemerintah pusat terkesan memaksakan keseragaman pendidikan secara nasional (sentralistik pendidikan). Munculnya pro dan kontra terhadap pelaksanaan UN dalam kacamata pedagogik (Tilaar), kurang menghargai, mengembangkan kebhinekaan, pluralisme. jika perkembangan intelektual diseragamkan, bukankah itu akan membuat benturan budaya pada masa mendatang bagi anak didik, karena seharusnya pendidikan tidak dilihat sebagai evaluasi bejalar secara birokratis melainkan harus dilihat utuh untuk kemajuan pendidikan secara psikis dan pisik dengan dimbangi tingkat kesejahteraan. Bukankah pendidikan tujuannya untuk meningkatkan potensi sesuai kemampuan anak, maka kalau pengujian pendidikan diseragamkan sudahkah kita membuat pemerataan pendidikan secara proporsional, hanya waktu yang akan menguji.

    Salah satu agenda reformasi adalah perbaikan mutu pendidikan yang dimulai dari tingkat prasekolah SD,SLTP,SMU sampai perguruan tinggi dan kegiatan non-formal di dalam kehidupan masyarakat. Masing-masing tingkatan memiliki karakteristik dan aturan tersendiri dalam pelaksanaannya. Pada era sebelumnya, masyarakat masih beranggapan bahwa pendidikan adalah persoalan yang hanya diselesaikan oleh pemerintah dan para pengelola pendidikan. Tetapi memasuki abad ke 21 ini, khususnya di Indonesia pemahaman pentingnya pendidikan telah mengalami kemajuan yang berarti dimana masyarakat telah berinisiatif sendiri dalam mengelola pendidikan dan penyelenggaraannya, yakni dengan menggunakan pola manajemen berbasiskan masyarakat (education based community), padahal pengelolaan pendidikan sebelumnya dilakukan secara rutinitas tanpa ada pola manajemen sehingga pendidikan tergantung pada penguasa (birokrasi) dan sentralistik.

    Perlunya manajemen dalam pendidikan adalah untuk mengantisipasi perubahan global yang disertai oleh kemajuan ilmu pengetahun dan teknologi informasi. Perubahan itu sendiri sangat cepat dan pesat, sehingga perlu ada perbaikan yang berkelanjutan (continous improvement) di bidang pendidikan sehingga output pendidikan dapat bersaing dalam era globalisasi seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya teknologi informasi. Persaingan tersebut hanya mungkin dimenangkan oleh lembaga pendidikan yang tetap memperhatikan kualitas pendidikan dalam pengelolaannya. Sebab syarat untuk bisa bersaing adalah perbaikan yang berkelanjutan dalam organisasi, utamanya dalam peningkatkan pendidikan sesuai konsep total kualitas terpadu (TQM) pada perguruan tinggi seperti diuraikan Ralph G.Lewis & Doughlas H.Smith, Total Quality in Higher Education, 1994-p.63 bahwa setidaknya terdapat sembilan unsur yang berkait yaitu: focus pada kebutuhan pasar; punya performans yang tinggi dalam semua bidang; punya sistem pencapaian kualitas; ada ukuran prestasi; pengembangan nilai persaingan; team yang baik; perbaikan komunikasi internal dan eksternal; pemberian reward; adanya proses review yang secara berkelanjutan. Secara normatif penerapan kesembilan point tersebut menjadi ukuran dan titik tolak untuk membuat citra pendidikan yang lebih baik, terutama pendidikan tinggi sebagai gudang ilmu pengetahuan dan teknologi masa depan.

    Lembaga pendidikan yang mampu bersaing dan merebut pasar adalah “perguruan tinggi yang berkualitas”. Oleh sebab itu peningkatan kualitas pendidikan dalam rangka perbaikan berkelanjutan (continous improvement) sudah harus dimulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi dan dalam pengelolaannya juga memerlukan sumber daya yang besar, serta didukung pola manajemen pendidikan yang baik. Tersedianya tenaga kependidikan; dana; sarana dan prasarana dalam mencapai kualitas pendidikan selayaknya secara integral diadakan dan didayagunakan oleh keluarga, masyarakat, peserta didik dan pemerintah, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama sebagai cermin tanggungjawab bersama semua lapisan yang peduli pendidikan.

    Berkait dengan tanggungjawab dana pendidikan, maka perguruan tinggi sebagai ujung tombak pendidikan nasional sebagai lembaga riset dan ilmu pengetahuan sudah tentu memerlukan biaya yang sangat besar untuk mendukung kemajuannya. Terlepas dari persoalan penyalahgunaan anggaran pendidikan sebelumnya ; yang pasti sektor pendidikan kekurangan biaya dalam pengelolaannya baik perguruan tinggi negeri (PTN) maupun perguruan tinggi swasta (PTS). Permasalahan perguruan tinggi selama ini adalah ketidakmampuan dalam membiayai kampus dan kegiatan akademik secara mandiri, inilah salah satu alasan kegagalan dalam peningkatan mutu.

  3. Penguatan tatakelola, akuntabilitas dan pencitraan publik

    Penguatan tata kelola pendidikan tidak saja bengantung pada kemampuan pemerintah saja tetapi juga sangat bergantung pada kemauan dari semua lapisan masyarakat sebagai Stakeholder dalam Sistem Pendidikan Nasional, oleh sebab itu dalam pengelolaan pendidikan sebagai sebagai suatu sistem sangat berkait dengan proses dan dinamika manusia dan lingkungannya (filsafatnya), dan cita-cita pendidikan harus kita lihat secara komprehensip sebagai suatu sistem pendidikan nasional yaitu adanya interdepedensi komponen stakeholders pendidikan yang melibatkan :

    • Masyarakat lokal (ada anggapan pendidikan hanya tanggungjawab pemerintah, sehingga desentralisasi pendidikan belum dimaknai oleh masyarakat sebagai pengembangan kemajuan pendidikan). UU No 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah telah mengilhami otonomi pendidikan di daerah. Namun dalam tahun 2006 muncul apa yang kita kenal Ujian Nasional, padahal konsep tersebut cenderung konsep penyeragaman budaya yang berbeda. Bukankah pendidikan yang demokratis adalah pendidikan yang memberikan kebebasan bagi daerah untuk menyesuaikan dengan perkembangan daerahnya serta apakah pengelolaan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang di daerah dapat disamaratakan kualitasnya. Fungsi pendidikan kekinian adalah transisi iptek dan masyarakat masa depan yang menghargai kebhinekaan dan keragaman pendapat.

    • Orangtua (selalu beranggapan sekolah saja tempat pendidikan, sehingga kurang serius memperhatikan kemajuan anak baik secara behavior maupun psikologis). Peserta didik lebih cenderung terbentuk dari karakter proses kehidupan dalam keluarga, sekolah lebih cenderung memberikan pengetahuan saja. Namun sangat disayangkan bahwa kondisi orangtua dalam masyarakat Indonesia masih hidup terbelakang baik secara ekonomi maupun kesehatan (kurang gizi), serta kerja yang serabutan, sehingga dapat kita bayangkan bagaimana generasi yang dihasilkannya dalam rangka peningkatan pendidikan non-formal anak disamping pendidikan di sekolah.

    • Peserta didik (belum sepenuhnya peserta didik dari berbagai tingkatan yang tertampung, sehingga berdampak pada jumlah anak putus sekolah karena biaya tinggi dan juga kurang didukung oleh faktor pendekatan pisik (gizi) dan pendekatan psikis.

    • Negara (dari segi material bahwa negara belum menempatkan pos khusus untuk pendidikan, dan kesannya dana pendidikan disediakan secara tambal sulam, jelas kita akan mengetahui apa hasil pendidikan dengan dana terbatas – bukankah dalam pendidikan perlu perbaikan berkelanjutan dan dukungan dana untuk riset dan pengembangan?). Siap atau tidak siap, pendidikan di daerah memerlukan perhatian serius terutama dalam pengelolaan sumberdaya alam dan pemanfaatan sumberdaya manusia di daerah. Selanjutnya dana pendidikan 20% yang dianggarkan dalam APBN/APBD masih sebatas wacana, kalaupun ada biaya murah atau gratis biaya pendidikan di daerah-daerah tertentu, kesannya dipaksakan untuk populis saja bahkan untuk menarik simpati partai politik pendukung saja bukan sebagai bentuk perencanaan pendidikan yang matang.

    • Pengelola profesi pendidikan (cenderung menyelenggarakan pendidikan bukan motiv mencerdaskan tetapi “profit oriented atau bisnis” sehingga pendidikan terkesan mahal, sementara pendidikan formal yang disediakan negara sangat terbatas menampung peserta didik). Dikawatirkan oleh Neils Postman seorang pemikir pendidikan dunia, akan terjadi apa yang dinamakan teacher as as subversive activity. Untuk itu sekolah harus bisa menjadi alat kontrol cita-cita kemajuan bangsa sesuai filsafat pendidikan dan arah kebijakan pembangunan nasional yang diamanatkan dalam pembukaan UUD 45.

    Dari kelima stakeholder pendidikan di atas, setidaknya tatakelola pendidikan benar-benar dapat terintegrasi dalam pembangunan nasional, yang akuntabilitasnya bukan saja tanggungjawab pemerintah melainkan sudah menjadi tanggungjawab semua lapisan masyarakat. Dengan demikian pada masa mendatang pembangunan pendidikan diharapkan dapat memberikan pencitraan publik atau performans pendidikan nasional yang berkualitas dan menghasilkan peserta didik yang mampu menghadapi pasar kerja (link and match) serta siap dengan persaingan gobal.

    Tulisan ini bukan akhir pemikiran tetapi setidaknya bagian dari sebuah pikiran untuk perbaikan pendidikan dalam konsep manajemen pendidikan.Semoga.

Label:

posted by Bowo Dwinantyo, S. Pd, M.MPd at 07.51 0 comments